USHUL FIQIH

USHUL FIQIH

Pendahuluan

Islam, dengan tauhid sebagai elemen dasar, adalah inti ajaran yang diwahyukan Allah kepada seluruh nabi-Nya. Untuk menjelaskannya, diturunkanlah pedoman pelaksanaannya, buat Nabi Muhammad SAW dan umatnya diturunkanlah al-Qur’an.

Sebagai sebuah kitab suci yang jadi pedoman dalam segala hal dan untuk segala zaman, al-Qur’an tidak mengajari dan menjelaskan segala persoalan secara rinci dan mendetail. Ia hanya memberikan pedoman atau petunjuk umum. Selanjutnya tugas manusialah untuk memahaminya agar bisa dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dan mengatasi segala persoalan yang mereka hadapi.

Selama Nabi Muhammad SAW masih hidup, semua persoalan yang berkaitan dengan kehidupan yang secara rinci tidak diatur dalam al-Qur’an, dapat langsung ditanyakan kepada beliau. Dengan kata lain, beliaulah yang memegang wewenang utama dalam memahami dan menjabarkan al-Qur’an. Selama ada penjelasan (sunnah) beliau, umat Islam tidak bisa membantahnya dan tidak dibenarkan berbuat lain. Dalam beberapa masalah, terkadang beliau menyelesaikannya dengan cara (yang disebut sekarang) qiyas.

Setelah beliau meninggal dunia, umat Islam masih memiliki para sahabat beliau yang sangat paham dengan al-Qur’an dan banyak mengetahui dan menyertai kehidupan beliau. Sehingga dalam banyak hal, persoalan yang dihadapi umat Islam bisa diatasi, tanpa menimbulkan masalah yang terlalu mendasar.

Namun bukan berarti seluruh hal yang muncul setelah meninggalnya beliau itu bisa terselesaikan dengan hanya melaksanakan tanpa penyesuaian dan penjabaran pedoman yang ada. Untuk itu, para sahabat harus menggunakan pemahamannya terhadap perbendaharaan utama Islam itu untuk menyelesaikan persoalan tersebut, dengan tetap memelihara tujuan utama risalah Islam. Hal itu terkadang, sepintas lalu, seperti bertentangan dengan petunjuk zahir nash (al-Qur’an dan Sunnah). Tapi sesungguhnya tidak ada pertentangan yang fundamental di dalamnya. Hampir semua sahabat mampu melakukan ijtihad, tapi yang paling menonjo di antara mereka adalah Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud (Ibn Mas’ud).

Ketika periode sahabat telah habis, para tabi’in dan umat Islam sudah mulai menghadapi berbagai persoalan. Seiring dengan semakin jauhnya jarak mereka dengan masa Rasul dan sahabat, maka pemahaman terhadap kedua sumber ajaran Islam itu juga semakin tidak setara dengan para pendahulunya. Ketika itu mereka harus mengumpulkan berbagai riwayat dan pemahaman terhadap kedua sumber itu dari para pendahulu (guru) mereka yang masih tersisa. Kemudian terhadap berbagai riwayat itu, yang terkadang saling bertentangan, mereka harus memaksimalkan daya pikir mereka agar tetap bisa memelihara tujuan diturunkannya Islam dan agar Islam itu sendiri tetap bisa diaplikasikan dalam kehidupan. Ketika itulah mereka harus menyusun sebuah kerangka acuan dalam melakukan pemahaman dan penarikan hukum dari sumber yang ada. Mujtahid di masa tabi’in yang menonjol adalah Sa’id bin Musayyab (15-94 H) di Madinah, Alqamah bin Waqqas al-Lais dan Ibrahim an-Nakha`i di Irak, dan al-Hasan al-Basri (624-728 M) di Basrah.

Kerangka acuan tersebut, yang hakikatnya telah ada semenjak masa Rasul, di setiap generasinya disempurnakan dan terus dikembangkan. Hasil berbagai penyempur-naan dan pengembangan itulah sekarang yang disebut dengan ilmu Ushul Fiqh, yang dengannya dapat dilakukan penggalian (istinbath) hukum dengan semaksimal mungkin mendekati kebenaran yang dikehendaki oleh Syari’ (pembuat hukum).

Pengertian Ushul Fiqh

Dalam dunia keilmuan, sebelum memanfaatkan sesuatu, terlebih dahulu harus diketahui apa bendanya, apa fungsi, tujuan, faidah dan hal lain yang berkaitan dengan barang. Hal itu tidak ubahnya dengan sebuah alat pemotong (misalkan pisau), terlebih harus diketahui apa alat pemotong yang akan digunakan, apa-apa saja fungsinya, apa tujuan yang mungkin diperoleh darinya dan lain-lain manfaat yang mungkin bisa diperoleh dari alat tersebut. Tanpa pengetahuan seperti itu, dikhawatirkan si pengguna alat tersebut, sama halnya dengan memberikan pisau kepada anak kecil.

Untuk itu, sebelum menggunakan Ushul fiqh, lsngkah bijaksana yang harus diambil terlebih dahulu adalah mengetahui hakikat Ushul Fiqh itu sendiri, dan hal itu dapat diperoleh dengan mengkaji pengertiannya, baik secara bahasa maupun secara istilah, dan melakukan perbandingan dari beberapa pengertian yang pernah dikemukakan para ulama. Hal itu dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendasar terhadap pokok persoalan yang dibahas.

“Ushul Fiqh” merupakan sebuah frase yang terdiri dari dua kata, yaitu “ushul” dan “fiqh”. Untuk memahaminya secara sempurna, akan dikemukakan pengertian masing-masingnya. Terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian secara bahasa. Kata “ushul” adalah bentuk jamak dari kata “ashl”, yang secara bahasa (etimologi) berarti:

ما بني عليه غيره

Sesuatu yang didirikan di atasnya sesuatu yang lain.

Maksudnya ashl merupakan sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lain, seperti fondasi dari sebuah rumah. Kalau yang jadi fondasi disebut ashl, maka bangunan yang didirikan di atas fondasi itu disebut dengan “far’un” (furu’). Furu’ itu sendiri berarti:

ما بني على غيره

Sesuatu yang didirikan di atas yang lain.

Dengan kata lain, furu’ tidak bisa berdiri dengan sendirinya. Agar ia ada dan dapat bertahan dengan baik, ia membutuhkan sesuatu yang lain sebagai landasannya, sama seperti batang dan cabang pohon yang membutuhkan pada pokok (pangkal)-nya. Demikian juga dengan fiqh yang tidak bisa muncul, bertahan dan berkembang kalau tidak ada ashl-nya, yaitu ushul fiqh.

Kalau begitu, apa yang disebut dengan fiqh? Secara bahasa fiqh berarti

الفهم مطلقا. قال الشيخ أبو إسحاق فهم الأشياء الخفية.

Pemahaman (secara mutlak). Menurut Syekh Abu Ishak (fiqh adalah) memahami sesuatu yang tersembunyi (abstrak).

Berbeda dengan melihat, memahami merupakan pekerjaan batin dan yang menjadi objeknyapun adalah sesuatu yang abstrak (tidak bisa dilihat). Oleh karena itu dalam penggunaan sehari-haripun akan terjadi perbedaan. Biasanya orang akan mengatakan “Saya memahami maksud perkataanmu”. Tapi orang tidak akan mengatakan “Saya memahami langit dan bumi” (kecuali kalau dikatakan “saya memahami proses penciptaan langit dan bumi”).

Dengan demikian, secara bahasa ushul fiqh berarti sesuatu yang didasarkan padanya pemahaman. Dengan bahasa lain dapat dikemukakan bahwa ushul fiqh adalah suatu ilmu yang menjadi fondasi bagi pemahaman.

Secara istilah (terminologi), kata ushul memiliki arti yang beragam. Hal itu disebabkan penggunaannya yang beragam dalam ungkapan bahasa Arab. Di antara pengertiannya tersebut adalah:

1. Kaidah Kulliyah (القاعدة كلية)

Kaidah kulliyah merupakan ketentuan umum yang berlaku terhadap satu persoalan, seperti ketentuan yang mengatakan bahwa “Setiap mayat haram”. Hal itu didasarkan pada firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 172:

إنما حرم عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل به لغير الله …

Sesungguhnya Allah mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah….

Berdasarkan ayat itu disimpulkan bahwa semua bangkai haram dimakan. Hanya saja dalam sambungan ayat itu terdapat pengecualian terhadap kaidah itu, yaitu pembolehan memakan bangkai (termasuk benda lain yang diharamkan) bagi ornag yang dalam keadaan terpaksa. Lanjutan ayat itu berbunyi:

… فمن اضطر غير باغ ولا عاد فلا إثم عليه …

… Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Untuk keadaan yang terakhir ini, para fuqaha mengungkapkan:

إباحة الميتة للمضطر خلاف الأصل

Pembolehan bangkai bagi orang terpaksa adalah menyalahi ashl.

Maksud ungkapan fuqaha` adalah: pembolehan memakan bangkai bagi orang yang dalam keadaan terpaksa merupakan suatu pengecualian yang menyalahi atau berbeda dengan kaidah kulliyah. Di mana kaidah kulliyah menghendaki dan menetapkan bahwa semua bangkai itu haram.

2. Yang lebih kuat (الراجح)

Rajih maksudnya adalah sesuatu yang lebih kuat dibanding yang lainnya. Untuk hal ini dapat dicontohkan seperti ketika seseorang berbicara tentang kursi, maka pemahaman yang paling mudah dan paling kuat yang segera akan muncul dalam pikiran pendengarnya adalah “sesuatu yang menjadi tempat duduk”. Pada waktu itu tidak akan segera muncul dalam pikirannya bahwa kursi itu juga bisa berarti “jabatan” atau “kedudukan politik”. Makna yang disebutkan pertama disebut dengan makna hakiki, dan yang kedua dan ketiga disebut makna majazi. Berkaitan dengan hal ini muncullah sebuah kaidah yang berbunyi:

الأصل فى الكلام الحقيقة

Yang ashl dalam pembicaraan adalah (makna) hakiki.

Makna “ashl” yang dalam kaidah ini maksudnya adalah “yang paling kuat” (الراجح). Karena memang makna hakikilah yang paling segera dan paling kuat kemungkinan segera munculnya dalam pikiran pendengar suatu pembicaraan.

3. Yang dikukuhkan (المستصحب)

Ketika sesorang akan melakukan shalat (misalnya shalat Isya), lalu pada waktu itu muncul keraguan (شك) dalam dirinya “apakah wudhu`nya sudah batal (berhadas) atau belum”. Padahal dia yakin (يقين) sekali bahwa sebelumnya (untuk shalat Maghrib) ia telah berwudhu`. Maka pada waktu itu ia bisa meyakinkan dirinya bahwa ia masih suci (berwudhu`), karena yakin tidak bisa dikalahkan oleh keraguan, dan dikukuhkanlah sucinya. Berkaitan dengan ini muncul pula suatu kaidah, yang berbunyi:

الأصل بقاء ما كان على ما كان

Yang ashl adalah mengukuhkan yang telah ada atas yang terjadi setelahnya.

Makna ashl dalam kaidah itu adalah yang dikukuhkan (المستصحب). Dengan demikian dikukuhkanlah suci (yang sudah terjadi sebelum) munculnya keraguan batalnya suci itu karena hadas.

4. Tempat meng-qiyas-kan (المقيس عليه)

Dalam al-Qur’an dan Sunnah sudah disebutkan hukum beberapa persoalan secara rinci. Hingga dalam pelaksanaannya tidak terjadi persoalan. Tapi kenyataan yang dihadapi umat Islam yang beragam suku, ras, budaya, daerah dan sebagainya, masih sangat banyak hal lain yang tidak dijelaskan dengan rinci dalam kedua sumber itu.

Misalnya dalam al-Qur’an sudah disebutkan bahwa gandum (makanan pokok) wajib dizakatkan ketika panen dilakukan. Sementara gandum hanya hanya menjadi makanan pokok bagi sebagian kecil umat Islam, yang menghuni hampir seluruh permukaan bumi. Sangat banyak umat Islam lain yang makanan pokoknya bukan gandum, seperti padi (beras), jagung, sagu, ubi dan sebagainya, dan itu tidak disinggung sama sekali dalam al-Qur’an. Maka ulama menetapkan bahwa makanan pokok selain gandum itu tetap wajib dizakatkan.

Dalam kasus ini, yang disebut tempat meng-qiyas-kan (مقيس عليه) atau ashl (الأصل) adalah gandum; wajibnya zakat pada gandum yang ditetapkan berdasarkan Sunnah disebut hukum ashl (حكم الأصل); makanan pokok lainnya disebut yang di-qiyas-kan (مقيس) atau furu’ (فرع); kesamaannya sebagai “makanan pokok” disebut illat (علة). Untuk wajibnya zakat terhadap makanan pkok lainnya ini, seperti padi atau beras (الأرز), fuqaha mengatakan:

يجب الزكاة فى الأرز قياسا على الشعير

Wajib zakat pada padi di-qiyas-kan pada gandum.

Maksudnya, ditetapkan wajib zakat pada furu’ di-qiyas-kan pada hukum wajib yang sebelumnya telah ada pada ashl, yaitu tempat meng-qiyas-kan furu’.

5. Dalil (الدليل)

Dalam menyatakan sesuatu, seseorang harus siap menjawab pertanyaan yang muncul setelah itu. Pertanyaan yang paling mungkin muncul adalah “mengapa”. Misalnya seseorang mengatakan bahwa “shalat itu wajib”. Maka ia harus siap untuk menjawab pertanyaan “mengapa shalat itu wajib?” atau “apa dasar yang melandasi pernyataan itu?” Untuk itu ia harus siap dengan argumentasi atau penjelasan yang logis tentangnya. Argumentasi dan alasan yang logis ini, dalam bahasa Arab, disebut dengan dalil. Secara khusus, dalil berarti sesuatu yang memberikan petunjuk atau menuntun dalam menemukan hukum Allah. Karenanya, ketika seseorang mengatakan:

الأصل فى هذه المسئلة الكتاب والسنة

Yang jadi ashl pada masalah ini adalah al-Qur’an dan Sunnah.

Maksudnya adalah “yang menjadi dalil dalam masalah ini adalah al-Qur’an dan Sunnah”, karena makna ashl pada pernyataan itu adalah dalil.

Dari beberapa pengertian di atas, makna ashl yang paling untuk rangkaian kata ushul fiqh adalah makna dalil (الدليل). Dengan demikian ushul fiqh dapat diartikan dengan “dalil-dalil fiqh”.

Sementara pengertian istilahi dari kata fiqh adalah:

العلم بالأحكام الشرعية عن أدلتها التفصيلية بالاستدلال.

Ilmu tentang hukum-hukum syar’iy dari dalil-dalilnya yang terperinci dengan cara istidlal.

Yang dimaksud dengan “ilmu” dalam definisi ini adalah pengetahuan yang bisa menjadi ilmu (yakin) atau zhan (dugaan kuat), karena hukum-hukum syar’iy itu digali dan ditetapkan dari dalil-dalil yang bersifat qarh’iy dan zhanniy. Sementara kedua dalil itu dapat dijadikan sandaran dalam menetapkan hukum-hukum syar’iy, khususnya yang bersifat amaliyah.

Dengan memasukkan kata “hukum-hukum” dalam pengertian itu, maka hal lain yang tidak berkaitan dengan hukum tidak termasuk dalam kelompok fiqh, seperti pengetahuan tentang zat-zat, sifat-sifat, seperti fisik dan bentuk tubuh. Kemudian dengan menyifati hukum-hukum tersebut dengan “syar’iy” dapat dipahami bahwa hukum-hukum yang termasuk dalam kelompk fiqh adalah hukum-hukum yang berasal dari kehendak Allah, sementara hukum-hukum yang bersumber dari pemikiran rasional (seperti satu tambah satu adalah dua) dan instink (seperti api itu panas) tidak termasuk dalam lapangan fiqh.

Melalui penggabungan dalil-dalil dengan kata “terperinci” diperoleh pemahaman bahwa hukum syar’iy tersebut digali bukan dari dalil-dalil yang global (الإجمالية). Dalil-dalil yang bersifat ijmaliy itu disebut dengan ushul fiqh.

Dengan memasukkan kata istidlal (penggalian), maka harus dipahami bahwa fiqh itu diperoleh melalui penggalian, penalaran, penganalisaan dan penemuan. Ia diterima bukan sebagai “barang jadi”. Dengan demikian, hukum atau ilmu yang diterima oleh seorang yang betaqlid (مقلد) dari seorang mujtahid, terlepas dari dalilnya, tidak termasuk dalam pengertian fiqh. Demikian juga halnya dengan pengetahuan (ilmu) tentang sesuatu yang diperoleh secara dharuriy, seperti wajibnya shalat dan puasa, ia tidak termasuk dalam kelompok fiqh.

Dengan demikian, secara istilahi, ushul fiqh dapat diartikan dengan:

دليل الفقه على سبيل الإجمال

Dalil-dalil fiqh yang bersifat global.

Ulama Syafi’iyah melengkapi definisi tersebut dengan:

معرفة دلائل الفقه إجمالا وكيفية الاستفادة منها وحال المستفيد

Pengetahuan tentang dalil-dalil fiqh yang bersifat global, tata cara penggaliannya dan keadaan orang yang melakukan peggalian.

Sementara ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah mendefinisikannya:

القواعد التي توصل البحث فيها إلى استنباط الأحكام من أدلتها التفصيلية

أو هو العلم بهذه القواعد

Kaidah-kaidah yang menuntun dalam melakukan istinbath hukum-hukum dari dalil-dalilnya yang terperinci, atau ilmu tentang kaidah-kaidah tersebut.

Walau pengertian yang dikemukakan ulama tersebut sepertinya berbeda, namun secara sederhana dapat dikatakan bahwa ushul fiqh adalah “Kaidah-kaidah yang menjelaskan tata cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya”.

Umpamanya dalam kitab-kitab fiqh ditemukan ungkapan: “Mengerjakan shalat itu hukumnya wajib”. Wajibnya mengerjakan shalat itu disebut hukum syara’. Di dalam al-Qur’an maupun hadis tidak pernah disebutkan bahwa shalat itu wajib. Yang disebutkan dalam al-Qur’an hanyalah perintah mengerjakan shalat, yang berbunyi:

أقيموا الصلاة ….

Ayat tentang perintah mengerjakan shalat itu disebut dalil syara’. Untuk meru-muskan kewajiban shalat (hukum syara’) dari ayat itu dibutuhkan suatu kaidah yang membimbingnya, misalnya kaidah yang berbunyi “Setiap perintah itu menunjukkan wajib”. Artinya hukum pekerjaan yang dituntut oleh suatu perintah adalah wajib. Dengan demikian baru dapat disimpulkan (dikeluarkan sebuah hukum), bahwa perintah yang terdapat di dalam ayat itu, juga didukung oleh ayat dan hadis lain, menunjukkan bahwa shalat itu wajib. Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan tata cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ inilah yang disebut dengan ushul fiqh.

Dari penjelasan ini juga jelas perbedaan antara ushul fiqh dengan fiqh. Ushul fiqh adalah pedoman atau aturan-aturan yang membimbing dan menjelaskan tata cara yang harus diikuti seorang fakih dalam menggali dan mengeluarkan hukum syara’ dari dalinya; sedang fiqh adalah hukum syara’ yang telah digali tersebut.

Kaidah-kaidah Dasar Keilmuan

Dari pembahasan yang lalu, dan dalam pembahsan berikutnya, ditemui beberapa istilah tekhnis yang perlu dipertegas dan diperjelas. Di antaranya adalah:

1. Ilmu (العلم)

Ilmu atau pengetahuan merupakan suatu kemampuan internal seseorang dalam menyelesaikan persoalan ‘aqliyah yang dihadapinya. Ia lebih banyak berupa kemampuan yang bersifat non-fisik. Untuk itu ulama mendefenisikannya:

العلم هو صفة ينكشف بها المطلوب انكشافا تاما.

Ilmu adalah suatu sifat (kualitas spiritual) yang mampu mengungkap sesuatu yang dituntut (dipelajari) secara sempurna.

Sebagai modal dalam mengetahui hakikat yang sedang dipelajari, terkadang ilmu berhadapan dengan satu objek yang tidak membutuhkan usaha penyingkapan yang sulit dan terkadang butuh pemikiran dan usaha maksimal untuk itu. Berdsarkan hal ini, ilmu dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu ilmu dharuriy dan ilmu nazhariy.

Ilmu dharuriy merupakan salah satu bentuk ilmu yang berhadapan dengan objek yang tidak rumit, seperti untuk memahami satu adalah setengah dari dua. Berkaitan dangannya, ulama mendefinisikan sebagai berikut:

الضروري هو ما لا يحتاج فى تحصيله إلى نظر.

(Ilmu) dharuriy adalah ilmu yang tidak membutuhkan penalaran dalam menghasilkanya.

Sebaliknya dari ilmu dharuriy, ilmu nazhariy adalah satu bentuk ilmu yang berhadapan dengan objek yang rumit, hingga untuk meneyelesaikannya membutuhkan konsentrasi dan usaha sungguh-sungguh, seperti memahami bahwa satu adalah setengah dari 12 per 6. Ulama mendefenisikannya dengan:

النظري هو ما يحتاج إلى نظر.

(Ilmu) nazhariy adalah ilmu yang membutuhkan penalaran (dalam menghasilkannya).

2. Penalaran (النظر)

Dalam menyelesaikan permasalahannya, ilmu membutuhkan penalaran, apakah penalaran sederhana atau rumit dan sistematis. Penalaran itu sendiri diartikan dengan:

النظر هو الفكر المطلوب به علم أو ظن.

Penalaran adalah pemikiran yang menghasilkan ilmu (keyakinan) atau dugaan kuat (zhan).

3. Pemikiran (الفكر)

Selanjutnya, seperti terlihat dari defenisi di atas, ternyata penalaran masih membutuhkan sesuatu yang lain, yaitu pemikiran. Pemikiran itu diartikan dengan:

الفكر حركة النفس فى المعقولات.

Pemikiran adalah aktivitas jiwa berkaitan dengan objek yang masuk akal.

4. Dalil (الدليل)

Istilah lain yang juga sangat sering dimanfaatkan dalam ushul fiqh adalah “dalil”. Secara bahasa dalil berarti:

الدليل هو ما يمكن التوصل بصحيح النظر فيه إلى المطلوب.

Dalil adalah sesuatu yang mungkin untuk menyampaikan (jadi perantara) kepada sesuatu yang dituntut (dicari) melalui penalaran yang benar.

Dengan pemahaman yang tidak jauh berbeda, ulama lain mendefinisikannya dengan “Petunjuk terhadap sesuatu dan penyingkapan atas hakikat sesuatu”.

Sementara menurut istilah ushul fiqh, dalil berarti “Sesuatu yang mungkin digunakan untuk sampai kepada suatu hukum syara’ dalam bentuk yang pasti (qath’iy) atau dugaan kuat (zhanniy)”. Dalil qath’iy adalah dalil yang hukumnya bersifat pasti, hingga hukum yang dihasilkan darinyapun bersifat pasti, tidak bisa dita`wil, diubah, dan dinasakh. Sementara dalil zhanniy adalah dalil yang hukumnya bersifat zhanniy. Dalil seperti inilah yang bisa menjadi objek ijtihad, di mana hukum yang dihasilkannya bersifat zhanniy, bisa dita`wil, diubah, dan dinasakh. Hampir semua dalil hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah bersifat zhanniy.

5. Jahil (الجهل)

Setiap manusia memiliki potensi (modal dasar) ilmu. Tapi sebagai sebuah modal dasar, ilmu tetap harus dikembagkan. Secara umum, orang yang mengembangkan potensi dasar itu secara maksimal sajalah yang disebut dengan orang yang berilmu, sementara orang yang mengembangkannya dalam batas minimal disebut dengan orang bodoh atau jahil. Secara definitif, jahil itu berarti:

الجهل هو عدم العلم بالشيء

Jahil adalah tidak memiliki ilmu tentang apapun.

Yang termasuk dalam definisi ini disebut jahil basith (الجهل البسيط). Di samping itu ada lagi yang disebut dengan jahil murakkab (الجهل المركب), yaitu yang termasuk dalam definisi berikut:

إدراك الشيء على خلاف ما هو له

Mengetahui sesuatu berbeda dengan hakikatnya yang sesungguhnya.

6. Zhan (الظن)

Dalam berbagai persoalan yang berbeda, atau mungkin bertentangan, terkadang seseorang, melalui penalaran yang benar diduga kuat bahwa salah satunya lebih benar dan lebih kuat dari yang lain. Dengan dugaan kuat itu, ia cenderung menerima dari pada menolaknya. Namun demikian, ia tidak merasa yakin bahwa “hanya” kesimpulannya yang benar dan yang lain salah. Berdasarkan penalarannya itu, ia berpegang dan melaksanakan kesimpulan yang telah diperolehnya. Keadaan seperti inilah yang disebut dengan zhan, yang secara definitif berarti:

الظن الإدراك الراجح لأحد الأمرين

Zhan adalah mengetahui (menemukan) yang terkuat dari dua persoalan.

7. Wahm (الوهم)

Dengan telah diperolehnya zhan salah satu dari persoalan yang berbeda, maka persoalan yang menjadi lawannya disebut dengan waham, yang secara definitif berarti:

الوهم هو الإدراك المرجوح لأحد الأمرين.

Waham adalah mengetahui (menemukan) yang terlemah dari dua persoalan.

Dalam keadaan sedikit berbeda, misalnya yang jadi objek hanya satu permasalahan, waham berarti sangat samar terhadap objek tersebut dan lebih berat kepada ketidaktahuan, sehingg hati lebih condong untuk mengingkarinya.

8. Syakk (الشك)

Keadaan lain yang juga mungkin terjadi dalam masalah seperti di atas, seseorang dengan penalarannya, tidak bisa menemukan yang lebih benar dan lebih kuat dari berbagai persoalan itu. Karenanya, ia tidak bisa berpegang pada salah satunya. Keadaan seperti inilah yang disebut dengan syakk, yang berarti:

الشك هو الإدراك المستوى بين الأمرين.

Syak adalah mengetahui (menemukan) dua persoalan yang sama kuat.

Dengan kata lain, syakk adalah sangsi antara sikap membenarkan atau menyangkal suatu putusan atau gambaran tentang suatu objek.

Beberapa Kaidah Dasar Pendukung Ushul Fiqh

Berkaitan dengan empat keadaan yang mungkin ditemui seseorang dalam menuntut ilmu, maka masing-masingnya mempunyai hubungan dengan bisa atau tidaknya hukum ditemui dan dilaksanakan, sebagai berikut:

1. Keyakinan menghasilkan hukum (اليقين فيه الحكم)

Secara bahasa yakin berarti pasti, kuat dan nyata. Secara istilahi, ia berarti pengetahuan dengan perasaan pasti terhadap sesuatu. Sebagai kebalikan dari yakin adalah Syakk. Keyakinan dapat diperoleh melalui salah satu dari tiga cara, yaitu:

a. Khabar (berita), seperti keyakinan akan adanya hari kiamat yang muncul dari berita yang dibawa oleh para rasul berupa wahyu atau kitab suci.

b. Dalail (petunjuk), seperti keyakinan adanya api di satu tempat karena ada asap.

c. Musyahadah (penyaksian langsung), seperti keyakinan adanya Ka’bah di kota Mekah setelah melihatnya secara langsung.

Dalam bahasan ushul fiqh, yang lebih menekankan bahasannya pada dalil hukum, keyakinan yang bisa diperoleh seseorang berdasarkan kualitas dalil yang digunakan dalam melakukan penetapan hukum, yaitu dalil yang qath’iy. Suatu dalil yang bersifat zhanniy (yang dimaksud di sini adalah zhanniy al-dilalah bukan zhanniy al-wurud) secara mandiri (terlepas dari yang lain), dapat ditingkatkan kualitasnya menjadi qath’iy melalui tiga cara:

a. Melalui ijma’ para sahabat bahwa hukum itu bersifat qath’iy, seperti hukum-hukum yang berkaitan dengan persoalan yang sudah diketahui secara pasti, seperti kewajiban mengesakan Allah SWT.

b. Didukung oleh dalil lain. Misalnya ayat أقيموا الصلاة. Perintah (aqimuw) dalam ayat itu bisa jadi wajib atau sunat. Tapi karena ayat tersebut didukung oleh berbagai dalil lain (al-Qur’an, hadis dan ijma’) yang juga memerintahkan untuk melaksanakan shalat, maka dalil (ayat) di atas menjadi qath’iy.

c. Melalui induksi terhadap makna dalil-dalil lain. Maksudnya, melalui pemaham-an mendalam dan menyeluruh terhadap makna dalil-dalil lain, baik yang secara langsung menyebutkan kata yang sama ataupun tidak. Misalnya kewajiban berlaku adil yang disebutkan dalam berbagai dalil (seperti QS. 42 :15, 5: 8, 2: 282, 4: 58 dan 16: 90), dan larangan berbuat mudharat yang juga didukung oleh berbagai dalil (seperti QS. 2: 233 dan 282, 65: 6 dan hadis nabi lainnya).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berdasarkan dalil yang qath’iy dapat disimpulkan suatu hukum yang juga qath’iy.

2. Zhan menghasilkan hukum (الظن فيه حكم لحصول الرجحية فيهما)

Menurut jumhur ulama, semua dalil (termasuk al-Qur’an dan hadis), secara mandiri bersifat zhanniy. Ia baru bisa bersifat qath’iy kalau didukung oleh dalil lain, seperti dijelaskan di atas. Walau demikian, dari satu dalil yang ahnniy tetap bisa ditarik atau ditemukan satu hukum. Hanya saja hukum yang dihasilkan dari dalil zhanniy juga hukum yang bersifat zhanniy, karena ia diperoleh berdasarkan dugaan kuat terhadap lebih benar atau lebih kuatnya dari dua kemungkinan yang bisa muncul.

Penyebab zhanniy-nya sebuah dalil diantaranya karena di dalamnya terdapa lafaz yang bermakna samar-samar, baik karena faktor di luar lafaz itu (khafiy ) mupun karena faktor lafaz itu sendiri (musykil dan mujmal ), atau karena lafal yang digunakan bukan dengan makna yang sesungguhnya (seperti penyebutan “tangan Allah”) atau tidak diketahui artinya seperti beberapa huruf Hija`iyyah di awal surat. Dua jenis terakhir ini disebut dengan mutasyabih.

Sebagai contoh, dalam surat al-Baqarah ayat 219 terdapat lafaz yang musykil, yaitu kata quru` (والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء) sebagai batas masa ‘idah. Ulama Hanafiyah, dengan dikuatkan oleh berbagai dalil lain, menyataka bahwa kata quru` itu berarti “haid”. Sementara ulama Syafi’iyah, juga dilandaskan pada berbagai dalil, menyatakan bahwa ia berarti “suci”.

3. Waham tidak menghasilkan hukum (الوهم لا حكم فيه)

Parena pada waham terdapat kesamaran terhadap objek yang ditelaah yang lebih berat kepada ketidaktahuan dan hati lebih condong untuk mengingkarinya, maka waham tidak menghasilkan hukum. Kalau seseorang berpegang pada kesimpulan yang didasarkan pada waham, berarti ia mengingkari hati nuraninya sendiri.

4. Syak tidak menghasilkan hukum (الشك لا حكم فيه لواحد من الطرفين)

Berbeda dengan waham, walau pada syakk tidak ditemui satu temuan yang lebih kuat, tapi padanya terdapat pengetahuan yang terbatas dan hati tidak menolak salah satunya. Meskipun demikian tetap tidak bisa dihasilkan hukum dari syakk, karena mustahil untuk menjalankan dua perbuatan oleh satu orang dalam satu waktu serentak.

Pembahasan Ushul Fiqh

Pemhasan yang dilakukan dalam ilmu ushul fiqh berkisar pada:

اثبات الأدلة للأحكام وثبوت الأحكام بأدلة

Menetapkan (memantapkan) dalil untuk hukum dan menetapkan hukum dengan dalilnya.

Maksudnya, ketika hukum suatu perbuatan sudah diketahui, maka tugas ilmu ushul fiqh adalah menelusuri dalil yang mendukungnya (atau menentangnya) dan ketika ditemui suatu dalil, maka dengan ilmu ushul fiqh dapat diketahui hukum yang muncul darinya. Sebagai contoh, ketika orang mengetahui bahwa shalat itu wajib, maka dengan ilmu ushul fiqh dapat dilacak dalil yang menjadi dasarnya (rata-rata orang yang Islam-nya karena keturunan mengetahui wajibnya shalat terlebih dahulu, baru kemudian mempelajari dalilnya). Tapi ketika seseorang menemui dalil yang berbunyi:

أقيموا الصلاة

Maka dengan ilmu ushul fiqh ia dapat menyimpulkan sebuah hukum, yaitu melalui (logika sederhana): “aqimuw adalah perintah (amr), sementara setiap perintah menghasilkan wajib, maka kesimpulannya (perintah) أقيموا الصلاة adalah untuk wajib.

Dengan lebih rinci dapat dikemukakan, bahwa pokok pembahasan dalam ilmu ushul fiqh adalah:

a. Dalil-dalil atau sumber hukum syara’

b. Hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam dalil tersebut

c. Kaidah-kaidah dan cara mengeluarkan hukum syara’ dari dalil atau sumbernya.

Dalam membicarakan dalil hukum, akan berkaitan dengan kemungkinan terjadinya benturan (pertentangan) antara dalil-dalil dan cara penyelesaiannya. Orang yang akan melakukan pembahasan tersebut tentu juga tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang dan juga tidak bisa dilakukan dengan cara sembarangan, makanya juga perlu dibahas tantang mujtahid dan ijtihad. Untuk orang yang tidak mampu berijtihad, diberikan jalan keluarnya dan dibahas melalui ittiba’ dan taqlid.

Ilmu-ilmu Bantu Ushul Fiqh

Ilmu ushul fiqh bukanlah satu ilmu yang berdiri sendiri, ia ada dan bisa bekerja dengan bantuan ilmu-ilmu lainnya. Di antara ilmu lain yang sangat erat kaitannya dengan ushul fiqh adalah ilmu tauhid dan ilmu bahasa Arab.

Ilmu tauhid berfungsi untuk memantapkan dalil-dalil syari’ah dalam rangka pengenalan terhadap Allah Yang Maha Mencipta (al-bari) SWT. Sementara ilmu bahasa Arab sangat menentukan dan jadi modal penting dalam memahami al-Qur’an dan Sunnah, yang berbahasa Arab, serta memanfaatkan keduanya sebagai dalil.

Aliran-aliran (Mazhab) Ushul Fiqh

Dalam sejarah perkembangan fiqh, secara garis besarnya dikenal dua aliran ushul fiqh yang berbeda. Perbedaan itu muncul akibat perbedaan dalam membangun teori ushul fiqh masing-masing. Kedua aliran itu terus dikembangkan oleh para pengikutnya. Di antara mereka ada yang berusaha menggabungkan keduanya.

Aliran (mazhab) pertama disebut dengan aliran mutakallimin, yang merupakan jumhur ulama ushul yang didominasi oleh pembahasan aspek-aspek bahasa. Ulama aliran ini (terutama Imam Syafi’i) adalah ulama yang pertama kali mengemukakan teori ushul fiqh secara rinci dan sistematis. Sesuai dengan namanya, aliran ini sangat berdekatan dengan ilmu kalam (tauhid), yang memberikan pengaruh cukup besar dalam pembahasannya, misalnya mereka seringkali berpanjang-panjang dalam melakukan pemabahsan tentang kema’suman Rasul (padahl itu adalah masalah akidah).

Aliran ini membangun ushul fiqh secara teoritis. Di mana ia menetapkan kaidah-kaidah dengan alasan yang kuat, baik naqli maupun ‘aqli, tanpa terpegaruh oleh masalah-masalah furu’ dari berbagai mazhab. Makanya teori tersebut terkadang sesuai dengan hukum furu’ namun terkadang tidak sesuai. Setiap permasalahan yang diterima akal dan didukung oleh dalil naqli dapat dijadikan kaidah, baik yang sejalan dengan furu’ suatu mazhab atau tidak, sesuai dengan kaidah yang telah ditetapkan imam mereka ataupun tidak. Hanya saja teori yang dibangun aliran ini serigkali tidak membawa pengaruh dalam keperluan praktis (menghadapi persoalan nyata di tengah masyarakat).

Aliran kedua disebut dengan aliran fuqaha` atau Hanafiah, yang dianut oleh ulama dari mazhab Hanafi. Ia dinamakan dengan aliran fuqaha` karena dalam membangun teori ushulnya banyak dipengaruhi oleh masalah-masalah furu’ dalam mazhab mereka; satu kaidah dibangun setelah memahami seluruh masalah furu’ yang ada dalam mazhab mereka, sebaliknya kalau ada satu kaidah bertentangan dengan pendapat dalam mazhab mereka, maka kaidah itu diubah.

Penutup

Dengan mempelajari ilmu ushul fiqh dapat diketahui, secara pasti (ilmu) atau zhan, tentang hukum-hukum Allah dan meninggalkan (menanjak dari) lembah taklid; melalui pemanfaatan kaidah-kaidah istinbath terhadap berbagai persoalan yang bersifat cabang (furu’), dan itu adalah derjat mujtahid; melalui mengembalikan furu’ kepada ushulnya, itu adalah derjatnya para muttabi’. Dengan itu, dapat diupayakan keikhlasan dalam mengamalkan agama Allah yang akan mengantarkan manusia kemenangan, yaitu kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Sebagian orang mengatakan bahwa ilmu ushul fiqh adalah sebuah cerita (hikayat; yang tidak berdasar dan bersifat ilusi) dan tidak ada yang lebih baik bagi umat saat ini selain mengikuti ketetapan dan jalan yang telah ditempuh oleh para pendahulu mereka (para imam mujtahid) dengan cara taklid terahdap mazhab dan dalil-dalil yang telah mereka buat. Pendapat seperti ini tertolak dengan sendirinya setelah diketahuinya kaidah-kaidah ilmu ushul fiqh, dan manfaat apa lagi yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan dari derjat taklid ke derjat mujtahid atau ittiba’.

sumber : http://ahdabina.staff.umm.ac.id/

 

SEJARAH PERKEMBANGAN USUL FIQH

BAB I
PENDAHULUAN

1 Latar Belakang Masalah
Ushul fiqh merupakan komponen utama dalam menghasilkan produk fiqh, karena ushul fiqh adalah ketentuan atau kaidah yang harus digunakan oleh para mujtahid dalam menghasilkan fiqh. Namun dalam penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu daripada ilmu ushul fiqh.
Secara embrional ushul fiqh telah ada bahkan ketika Rasulullah masih hidup, hal ini didasari dengan hadits yang meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bertanya kepada Muadz bin Jabal ketika diutus untuk menjadi gubernur di Yaman tentang apa yang akan dilakukan apabila dia harus menetapkan hukum sedangkan dia tidak menemukan hukumnya dalam al-Qur’an maupun as-Sunah, kemudian Muadz bin Jabal menjawab dalam pertanyaan terakhir ini bahwa dia akan menetapkan hukum melalui ijtihadnya, dan ternyata jawaban Muadz tersebut mendapat pengakuan dari Rasulullah. Dari cerita singkat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Rasulullah pada masanya telah mempersiapkan para sahabat agar mempunyai alternatif cara pengambilan hukum apabila mereka tidak menemukannya dalam al-Qur’an maupun as-Sunah. Namun pada masa ini belum sampai kepada perumusan dan prakteknya, karena apabila para sahabat tidak menemukan hukum dalam al-Qur’an mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah.
Berdasarkan uraian di atas diperlukan sekali adanya pemahaman tentang hukum-hukum dalam Islam yang sesuai dengan hal sejarah pertumbuhan dan perkembangan Islam. Supaya tidak terjadi simpang siur tentang sejarah penetapan hukum Islam. Dengan demikian diharapkan tidak terjadinya kesulitan di dalam pemahaman sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam. Setelah melakukan penelitian kami merasa terdorong untuk mengulangi lebih lanjut masalah sejarah itu semaksimal mungkin.

2 Rumusan Masalah

A. Apa pentingnya memahami tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam ?
B. Periode-periode apa sajakah yang ada dalam sejarah pembentukan hukum Islam?
C. Bagaimana sejarah periode-periode tersebut?

3 Tujuan Memahami Sejarah Ushul Fiqh

Setelah mengetahui definisi sedikit tentang sejarah ushul fiqh beserta pembahasannya, maka sangatlah penting untuk mengetahui tujuan dan kegunaan sejarah pertumbuhan dan perkembangan ushul fiqh. Tujuan yang ingin dicapai dari sejarah ushul fiqh yaitu untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terperinci agar sampai pada hukum-hukum syara’ yang bersifat amali. Selain itu dapat juga dijadikan sebagai pertimbangan tentang sebab terjadinya perbedaan madzhab diantara para Imam mujathid. Karena tidak mungkin kita hanya memahami tentang suatu hukum dari satu sudut pandang saja kecuali dengan mengetahui dalil hukum dan cara penjabaran hukum dari dalilnya.
Para ulama terdahulu telah berhasil merumuskan hukum syara’ dengan menggunakan metode-metode yang sudah ada dan terjabar secara terperinci dalam kitab-kitab fiqh. Kemudian apa kegunaan ilmu ushul fiqh bagi masyarakat yang datang kemudian?. Dalam hal ini ada dua maksud kegunaan, yaitu:
Pertama, apabila sudah mengetahui metode-metode ushul fiqh yang dirumuskan oleh ulama terdahulu, dan ternyata suatu ketika terdapat masalah-masalah baru yang tidak ditemukan dalam kitab terdahulu, maka dapat dicari jawaban hukum terhadap masalah baru itu dengan cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahulu.
Kedua, apabila menghadapi masalah hukum fiqh yang terurai dalam kitab fiqh, akan tetapi mengalami kesulitan dalam penerapannya karena ada perubahan yang terjadi dan ingin merumuskan hukum sesuai dengan tuntutan keadaan yang terjadi, maka usaha yang harus ditempuh adalah merumuskan kaidah yang baru yang memungkinkan timbulnya rumusan baru dalam fiqh. Kemudian untuk merumuskan kaidah baru tersebut haruslah diketahui secara baik cara-cara dan usaha ulama terdahulu dalam merumuskan kaidahnya yang semuanya dibahas dalam ilmu ushul fiqh.

4 Manfaat Mempelajari Sejarah Ushul Fiqh

A. Dengan mata kuliah ushul fiqh kita mengetahui sejarah pembentukan dan perkembangan hukum Islam.
B. Bertambahnya ilmu pengetahuan dalam sejarah Islam, serta berwawasan luas.
C. Dapat membedakan bagaimana hukum Islam ini antara satu periode dengan periode lain, masa dulu dengan masa sekarang.

BAB II
PEMBAHASAN

Jika kita membaca dan memahami sejarah perkembangan fiqh, maka satu hikmah yang setidaknya bisa kita ambil bahwa fiqh Islam sebagai sebuah ilmu, pernah mengalami kejayaan dimana ijtihad berkembang dengan senantiasa memenuhi kebutuhan masyarakat. Dimasa itu para hakim agama (Qadhi) banyak yang mampu berijtihad sendiri sesuai kebutuhan dan kondisi dengan tetap berdasarkan pada kitabullah. Namun kekurangannya, pembukuan masih belum dilakukan dengan baik dan sistematis. Sistematisasi yang kemudian dilakukan oleh Imam Syafii tersebut lalu melahirkan Ushul Fiqh dan kemudian qowaidhul fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh). Perkembangan semakin pesat dan melahirkan banyak madzhab. Dari sekian banyak madzhab, yang sampai hari ini masih eksis hanyalah 4 madzhab. Madzhab-mazhab tersebut, terutama yang masih eksis. Madzhab-mazhab tersebut juga melahirkan kitab-kitab, baik fiqh, hadist maupun ushul yang ditulis oleh Imam Madzhab atau tokoh besar madzhab. Kitab-kitab yang ditulis makin berkembang dan memiliki mata rantai dengan guru utama.
Sayangnya, pada perkembangan selanjutnya, masing-masing madzhab saling menjauh dan setiap pengikut saling fanatik terhadap madzhabnya. Hal ini sedikit banyak dipengaruhi oleh trend penulisan kitab-kitab fiqh pada periode kemunduran hukum Islam tersebut. Yakni kitab-kitab yang ditulis pada masa itu hanya ulasan, komentar dan bahkan ringkasan dari kitab-kitab induk masing-masing madzhab. Selain menimbulkan fanatisme madzhab, hal itu juga menurunkan suasana ilmiah hukum Islam ketika itu dimana para ulama mujtahid, dalam memberi fatwa banyak mengikuti kepada fatwa Imam Madzhab atau gurunya. Selain itu melalui kitab-kitab, fiqh hanya diulas kembali secara lebih mendalam dari hasil fatwa sang guru atau imam madzhab meski seringkali hasilnya tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sehingga kemudian sulit ditemukan landasan hukumnya yang semula. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi perpolitikan ketika itu dimana kejayaan khilafah Abbasiyah di Baghdad dan Andalusia di Spanyol telah hancur. Keruntuhan kedua khilafah tersebut cukup berpengaruh terhadap mundurnya kejayaan peradaban ilmu pengetahuan Islam termasuk ilmu fiqh.
Setelah sekian lama terpuruk, sekitar abad XIX dan XX muncul usaha untuk mengembalikan kejayaan Islam diantaranya di Arab Saudi (Gerakan Salafiyah pendirinya Muhammad bin Abdul Wahhab) dan juga Mesir.

Sejarah perkembangan Fiqh dan periode-periode yang ada pada masa itu :
Terdapat perbedaan periodisasi fiqh di kalangan ulama fiqh kontemporer. Muhammad Khudari Bek (ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi fiqh menjadi enam periode. Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, periode keenam yang dikemukakan Muhammad Khudari Bek tersebut sebenarnya bisa dibagi dalam dua periode, karena dalam setiap periodenya terdapat ciri tersendiri.

Periodisasi menurut az-Zarqa adalah sebagai berikut:
1. Periode risalah. Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW.
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Mekkah dan periode Madinah.

2. Periode al-Khulafaur Rasyidin. Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Mu’awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat.

3. Periode awal pertumbuhan fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidin (terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah, (33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat daerah tersebut.

4. Periode keemasan. Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang.
Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya. Semangat para fuqaha melakukan ijtihad dalam periode ini juga mengawali munculnya mazhab-mazhab fiqh, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa’ oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi’i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini adalah ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi’i.

5. Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh. Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-ta’assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya.

o Periode kemunduran fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah al-Ahkam al- ‘Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya’ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya.

o Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam sebagai mazhab resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah Turki Usmani, seperti Majalah al-Ahkam al-‘Adliyyah yang merupakan kodifikasi hukum perdata yang berlaku di seluruh Kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi.

o Periode pengkodifikasian fiqh. Periode ini di mulai sejak munculnya Majalah al-Ahkam al-Adliyyah sampai sekarang. Upaya pengkodifikasian fiqh pada masa ini semakin berkembang luas, sehingga berbagai negara Islam memiliki kodifikasi hukum tertentu dan dalam mazhab tertentu pula, misalnya dalam bidang pertanahan, perdagangan dan hukum keluarga. Kontak yang semakin intensif antara negara muslim dan Barat mengakibatkan pengaruh hukum Barat sedikit demi sedikit masuk ke dalam hukum yang berlaku di negara muslim.

Sejarah pertumbuhan dan perkembangan fiqh dan ushul fiqh
Periodisasi Pembentukan Hukum Islam :

* Pertumbuhan fiqh atau hukum Islam dari awal sampai sekarang dapat dibedakan kepada beberapa periode, diantaranya:

1. Periode Rasulullah SAW
Yaitu periode pertumbuhan dan pembentukan yang berlangsung selama kurang lebih 22 tahun beberapa bulan, sejak pelantikannya sebagai Rasul Allah pada tahun 610 M sampai wafatnya tahun 632 M.

2. Periode Sahabat
Yaitu periode penjelasan pencerahan dan penyempurnaan yang berlangsung sekitar 90 tahun, sejak wafatnya Rasulullah SAW. Tahun 632 M sampai akhir abad pertama 101 H/ 720 M.

3. Periode Tadwin Kodifikasi
Yaitu periode kodifikasi atau pembukuan dan tampilnya para imam mujtahid. Periode ini dikenal sebagai masa puncak keemasannya yang berlangsung selama kurang lebih 250 tahun, yakni dari tahun 101-350 H. / 720-971 M.

4. Periode Taklid
Yaitu periode statis dan kebekuan yang berlangsung sejak pertengahan abad keempat Hijriah yakni sekitar tahun 351 H dan tidak seorangpun yang tahu masa berakhirnya kecuali Allah.

Perumusan fiqh sebenarnya sudah dimulai langsung setelah nabi wafat, yaitu pada periode sahabat. Pemikiran ushul fiqh pun telah ada pada waktu perumusan fiqh tersebut. Diantaranya adalah Umar bin Khatab, Ibnu Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib yang sebenarnya sudah menggunakan aturan dan pedoman dalam merumuskan hukum meskipun belum dirumuskan secara jelas.
Berkaitan dengan hal di atas, pada periode ulama, metode-metode untuk mengistinbat hukum mengalami perkembangan pesat diiringi dengan munculnya beberapa ulama ushul fiqh ternama seperti Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i. Berangkat dari keragaman metode dalam mengistinbatkan hukum inilah yang menyebabkan perbedaan aliran fiqh dalam beberapa madzhab tersebut.
Abu Hanifah menetapkan al-Qur’an sebagai sumber pokok, setelah itu hadits Nabi, baru kemudian fatwa sahabat. Dan metodenya dalam menerapkan qiyas serta istihsan sangat kental sekali.

Sedangkan Imam Malik lebih cenderung menggunakan metode yang sesuai dengan tradisi yang ada di Madinah. Beliau termasuk Imam yang paling banyak menggunakan hadits dari pada Abu Hanifah, hal ini mungkin dikarenakan banyaknya hadits yang beliau temukan.
Selain dua Imam di atas, tampil juga Imam Syafi’i. Ia dikenal sebagai sosok yang memiliki wawasan yang sangat luas, didukung dengan pengalamannya yang pernah menimba ilmu dari berbagai ahli fiqh ternama. Hal ini menjadikan beliau mampu meletakkan pedoman dan neraca berfikir yang menjelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh mujtahid dalam merumuskan hukum dari dalilnya. Kemudian beliau menuangkan kaidah-kaidah ushul fiqh yang disertai dengan pembahasannya secara sistematis yang didukung dengan keterangan dan metode penelitian ke dalam sebuah kitab yang terkenal dengan nama “Risalah“.

Risalah ini tidak hanya dianggap sebagai karya pertama yang membahas metodologi ushul fiqh, akan tetapi juga sebagai model bagi ahli-ahli fiqh dan para ahli yang datang kemudian untuk berusaha mengikutinya. Atas jasanya ini beliau dinilai pantas disebut sebagai orang yang pertama kali menyusun metode berfikir tentang hukum Islam, yang selanjutnya populer dengan sebutan “ushul fiqh“. Bahkan ada salah seorang orientalis yang bernama N.J Coulson menjuluki Imam Syafi’i sebagai arsitek ilmu fiqh. Namun yang perlu digarisbawahi, bahwa bukan berarti beliaulah yang merintis dan mengembangkan ilmu tersebut, karena jauh sebelumnya seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa mulai dari para sahabat, tabi’in bahkan dikalangan para Imam mujtahid sudah menemukan dan mengunakan metodologi dalam perumusan fiqh, hanya saja mereka belum sampai menyusun keilmuan ini secara sistematis, sehingga belum dapat dikatakan sebagai suatu khazanah ilmu yang berdiri sendiri.
Sepeninggal Imam Syafi’i pembicaraan tentang ushul fiqh semakin menarik dan berkembang. Pada dasarnya ulama pengikut Imam mujtahid yang datang kemudian, mengikuti dasar-dasar yang sudah disusun Imam Syafi’i, namun dalam pengembangannya terlihat adanya perbedaan arah yang akhirnya menyebabkan perbedaan dalam usul fiqh.
Sebagian ulama yang kebanyakan pengikut madzhab Syafi’i mencoba mengembangkan ushul fiqh dengan beberapa cara, antara lain: mensyarahkan, memperinci, dan mencabangkan pokok pemikiran Imam Syafi’i, sehingga ushul fiqh Syafi’iyyah menemukan bentuknya yang sempurna. Sedangkan sebagian ulama yang lain mengambil sebagian dari pokok-pokok Imam Syafi’i, dan tidak mengikuti bagian lain yang bersifat rincian. Namun sebagian lain itu mereka tambahkan hal-hal yang sudah dasar dari pemikiran para Imam yang mereka ikuti, seperti ulama Hanafiyah yang menambah pemikiran Syafi’i.
Setelah meninggalnya Imam-imam mujtahid yang empat, maka kegiatan ijtihad dinyatakan berhenti. Namun sebenarnya yang berhenti adalah ijtihad muthlaq. Sedangkan ijtihad terhadap suatu madzhab tertentu masih tetap berlangsung, yang masing-masing mengarah kepada menguatnya ushul fiqh yang dirintis oleh Imam-imam pendahulunya.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Ilmu fiqh merupakan ilmu agama Islam yang pertama yang merumuskan secara sistematis, yakni pada abad ke 2 H. Orang yang pertama kali merumuskan, menciptakan, dan membukukan ilmu ushul fiqh ini adalah Muhammad ibn Idris Al-Syafi’I ( 150-204 H. atau 767-820 M. ) dengan kitabnya yang berjudul Al-Risalah. Beliau meninggal di Mesir pada tahun 204 H. Salah satu pendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqh adalah perkembangan wilayah Islam yang semakin luas, sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya.
Untuk itu studi perbandingan hukum Islam atau perbandingan madzhab (taqrir bainal madzaahib) perlu untuk makin digiatkan. Sebab salah satu kelebihan dari hukum Islam dibanding hukum lainnya adalah kekayaan dan keragaman khazanahnya yang menyebabkannya memiliki banyak alternatif yang bisa saling melengkapi dan dipadukan. Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana melahirkan dan mengkampanyekan pemahaman fiqh (terutama dalam fiqh ibadah) yang bisa mempersatukan seluruh umat Islam. Sehingga jangan sampai ada lagi konflik di masyarakat hanya gara-gara masalah perdebatan.

Demikianlah uraian singkat ini mengenai Sejarah Perkembangan Usul Fiqh. Semoga bermanfaat bagi para pembaca dalam rangka pengembangan hukum Islam. Jika dalam tulisan ini terdapat kesalahan mohon pembaca untuk memperbaikinya agar jauh dari kekeliruan. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif (membangun) dari para pembaca. Dengan selalu mengharap ridha dan rahmat Allah SWT. Penulis akhiri tulisan ini dengan kata Wassalam. Amin.

Riwayat Penulis :
*Sri Wahyuni, A.Ma adalah guru MAN Sumbok, Kec. Nibong, Aceh Utara.

DAFTAR PUSTAKA / BAHAN REFERENSI

– Adi, Muh Faizin. 2009. (Fayadip@yahoo.co.id dan fayadip@plasa.com).
– Bakry, Nazar. 2003. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
– Sudrajat, Ahmad. 2009. http://wordpress. Com.
– Thib, Raya Ahmad, dan Musdah Mulia, Siti. 2003. Menyelami Seluk Beluk Ibadah Islam. Jakarta : Prenada Media.
– Wahab Khallaf, Abdul. 2002. Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
http://rizkisaputro.blogspot.com ,Sejarah Ushul Fiqh. 2009.

 

5 Responses to USHUL FIQIH

  1. spiritual says:

    You actually make it seem so easy with your presentation but I find this topic to be actually something that I think I would
    never understand. It seems too complicated and extremely broad for me.

    I’m looking forward for your next post, I’ll try to get the hang of
    it!

  2. Wow, this can be a cool post and terrific search and feel as well.

  3. Macie Hetu says:

    Hello.This post was extremely remarkable, especially because I was browsing for thoughts on this topic last Tuesday.

  4. Creating amazing web site just isn’t harder than creating good info. However , you know you accomplished the two pretty nicely. Thank gentleman.

Tinggalkan komentar